maka ketika kusebutkan satu nama
embun pagi terasa menyejukkan
kicauan burung terdengar merdu mempesona
kehangatan sinar mentari menghidupkan detak jantungku
keindahan malam terasa lembut mengelus batinku
cucuran air mata tak kuasa menahan gejolaknya
: aku menangis sepuaspuasnya
maka ketika kusebutkan satu nama
aku jatuh cinta!
10.97
Rabu, 06 Desember 2006
saat kutatap mataku
tak kuasa, aku harus menatap mataku,
seram
mayat bergelimpangan
hampa
angin memperkosa dingin
sunyi
...
tak kuasa, aku harus menatap mataku
gemetar, menggempa
keringat mendidih membakar
luluh lantak
sepi
09.07
seram
mayat bergelimpangan
hampa
angin memperkosa dingin
sunyi
...
tak kuasa, aku harus menatap mataku
gemetar, menggempa
keringat mendidih membakar
luluh lantak
sepi
09.07
rinduku, mimpi
rinduku, mimpi, biarkan mimpiku merindu-rindu
tak terang saat kunyalakan rinduku, aku tergagap-gagap, limbung, terhuyung-huyung kugapai rinduku, mimpi
kugapai-gapai, terengap-engap, aku tenggelam lagi.
hei, rinduku, engkaukah rindu yang dulu?
09.97
tak terang saat kunyalakan rinduku, aku tergagap-gagap, limbung, terhuyung-huyung kugapai rinduku, mimpi
kugapai-gapai, terengap-engap, aku tenggelam lagi.
hei, rinduku, engkaukah rindu yang dulu?
09.97
elegi pinggir pantai
ketika kugoreskan batang kayu ini di atas pasir putih di bawah kakimu, tidak ada terlintas goresan itu akan terus ada walaupun riak dan ombak laut terus menyapu tanpa peduli bahwa itu juga merupakan bagian dari dirinya. goresan itu pun masih tetap ada walaupun hujan dan terik matahari memperkosa kisah sejarahnya tanpa peduli bahwa mereka berarti memperkosa diri mereka sendiri.
kini ketika kembali kucoba goreskan batang kayu ini di atas pasir putih di bawah bayangmu, ternyata ia tidak membuat goresan apa pun karena memang air laut semakin meriak dan mengombak, dan hari semakin menghujan serta matahari semakin menerik.
lalu ketika kucoba mengubah goresan ini menjadi batang kayu, riak dan ombak laut tiba-tiba menyurut, hujan menampik turun, dan matahari meredup geram.
dan ketika kucoba berdiri di depanmu, limbung tubuhku tak menentu arah...
09.97
kini ketika kembali kucoba goreskan batang kayu ini di atas pasir putih di bawah bayangmu, ternyata ia tidak membuat goresan apa pun karena memang air laut semakin meriak dan mengombak, dan hari semakin menghujan serta matahari semakin menerik.
lalu ketika kucoba mengubah goresan ini menjadi batang kayu, riak dan ombak laut tiba-tiba menyurut, hujan menampik turun, dan matahari meredup geram.
dan ketika kucoba berdiri di depanmu, limbung tubuhku tak menentu arah...
09.97
hanya ingin sakit
aku hanya ingin sakit
lalu berjalan-jalan sendirian
menghitung jejak langkah
menuju kepasrahan
: karena kemudian ia berubah menjadi sejarah
aku hanya ingin sakit
menikmati setiap tetesan darah
yang tertinggal dalam tiap jejakan langkah
: karena kemudian ia berubah menjadi kenangan
aku hanya ingin sakit
sendiri saja
menikmati denyut yang menggores setiap pori-pori
: karena kemudian ia berubah menjadi rasa
aku hanya ingin sakit
menikmati desiran angin
yang menyanyat setiap nadi
: karena kemudian ia adalah perjalanan
aku hanya ingin sakit
sendiri saja
sambil memejamkan mata
hampa
: karena kemudian ia adalah dirinya
09.97
lalu berjalan-jalan sendirian
menghitung jejak langkah
menuju kepasrahan
: karena kemudian ia berubah menjadi sejarah
aku hanya ingin sakit
menikmati setiap tetesan darah
yang tertinggal dalam tiap jejakan langkah
: karena kemudian ia berubah menjadi kenangan
aku hanya ingin sakit
sendiri saja
menikmati denyut yang menggores setiap pori-pori
: karena kemudian ia berubah menjadi rasa
aku hanya ingin sakit
menikmati desiran angin
yang menyanyat setiap nadi
: karena kemudian ia adalah perjalanan
aku hanya ingin sakit
sendiri saja
sambil memejamkan mata
hampa
: karena kemudian ia adalah dirinya
09.97
pada suatu masa di restoran a&w pasar baru
kita duduk pada satu meja
memesan getar dan rasa
tidak saling berkata-kata
kita duduk pada satu meja
berpejam dalam hening
mengunyah getar dan rasa masing-masing
kita duduk pada satu meja
meminum darah dari jantung keesaan
demi keabadian jarak dan waktu
23 des 94
memesan getar dan rasa
tidak saling berkata-kata
kita duduk pada satu meja
berpejam dalam hening
mengunyah getar dan rasa masing-masing
kita duduk pada satu meja
meminum darah dari jantung keesaan
demi keabadian jarak dan waktu
23 des 94
di atas strasse-bahn frankfurt
gelap
dingin
sunyi
. . .
hanya doa berceceran
entah punya siapa
oktober 1994
dingin
sunyi
. . .
hanya doa berceceran
entah punya siapa
oktober 1994
dalam diam
dalam diam ada kata-kata
yang tak sanggup lagi kita ucapkan
dalam gaib ada gerak
yang tak sanggup lagi kita lakukan
dalam sunyi ada ramai
yang tak sanggup lagi kita ciptakan
1994
yang tak sanggup lagi kita ucapkan
dalam gaib ada gerak
yang tak sanggup lagi kita lakukan
dalam sunyi ada ramai
yang tak sanggup lagi kita ciptakan
1994
suatu siang di tengah cerita
Sudah cukup jauh kita berjalan
ke segala arah
entah menerjang badai
atau menyambut sepoi
tetapi mengapa kompas belum jua
menunjukkan kepastian?
Tidak bisakah kita duduk
berhadap-hadapan
bertelekan alam
berminuman pengalaman?
Tidak bisakah kita duduk
berhadap-hadapan
membicarakan kepastian?
Sudah, sudah jauh kita berjalan
tapi harapan masih jauh untuk dijelang...
20 April 1994
ke segala arah
entah menerjang badai
atau menyambut sepoi
tetapi mengapa kompas belum jua
menunjukkan kepastian?
Tidak bisakah kita duduk
berhadap-hadapan
bertelekan alam
berminuman pengalaman?
Tidak bisakah kita duduk
berhadap-hadapan
membicarakan kepastian?
Sudah, sudah jauh kita berjalan
tapi harapan masih jauh untuk dijelang...
20 April 1994
tentang sebuah percakapan
Untuk apa lagi kita berhadapan?
ketika hati sudah mulai berpaling
Untuk apa lagi kita bertatapan?
ketika mata sudah memejamkan keinginannya
18 April 1994
ketika hati sudah mulai berpaling
Untuk apa lagi kita bertatapan?
ketika mata sudah memejamkan keinginannya
18 April 1994
Langganan:
Postingan (Atom)